


Yoki Hadiprakarsa
Wildlife & Ecology Specialist
Yoki is a passionate person with 15 years of experiences in biological conservation, biodiversity, and sustainable regional spatial planning in Indonesia and Asia. In 2000, graduated from Biology of Pakuan University and completed his master’s degree in Forest Resources University of Georgia, USA in 2008.
He started his career in 1999 as a wildlife biologist and involved various wildlife research and biological conservation projects with the Wildlife Conservation Society. In the past Nine years, it has been involved in many sustainable development projects and sustainable spatial planning in Indonesia and Asia with OCSP-USAID, The Nature Conservancy, IFACS-USAID, SNV, UNDP and MCA Indonesia. In addition, in the last seven years involved in issues of environmental sustainability in the forestry industry sector, oil palm and mining.
But his interest in bird conservation, especially hornbills in the last16 years has been lived wholeheartedly by taking an active role in many hornbill conservation activities in Indonesia and internationally. Currently still serves as Director of Indonesian Ornithologist Union (IdOU) since 2011, and in 2012 founded Rangkong Indonesia. In 2017 is entrusted as a Co-Leader research component for the Helmeted Hornbill Conservation Working Group.
Yoki Hadiprakarsa
Wildlife & Ecology Specialist
Yoki adalah orang yang penuh semangat dengan pengalaman 15 tahun terakhir dalam konservasi biologi, keanekaragaman hayati, dan perencanaan tata ruang wilayah berkelanjutan di Indonesia dan Asia. Di tahun 2000, lulus dari Biologi Universitas Pakuan dan menyelesaikan pendidikan masternya di bidang Sumberdaya Hutan University of Georgia, Amerika Serikat pada tahun 2008.
Dia memulai kariernya pada tahun 1999 sebagai wildlife biologist dan terlibat banyak proyek penelitian satwa liar dan konservasi biologi dengan Wildlife Conservation Society. Dalam Sembilan tahun terakhir, terlibat dalam banyak proyek pengembangan pembangunan berkelanjutan dan perencanaan tata ruang berkelanjutan di Indonesia dan Asia dengan OCSP-USAID, The Nature Conservancy, IFACS-USAID, SNV, UNDP, dan MCA Indonesia. Selain itu juga dalam tujuh tahun terakhir terlibat dalam isu keberlanjutan lingkungan dalam sector industry kehutanan, kelapa sawit dan pertambangan.
Namun ketertarikannya terhadap konservasi burung, khususnya burung rangkong dalam 16 tahun terakhir sudah dijalaninya sepenuh hati dengan berperan aktif di banyak kegiatan konservasi rangkong di Indonesia dan internasional. Saat ini masih menjabat sebagai Direktur Indonesian Ornithologist Union (IdOU) semenjak 2011, dan pada tahun 2012 mendirikan Rangkong Indonesia. Di tahun 2017 dipercayakan sebagai Co-Leader komponen penelitian untuk Kelompok Kerja Konservasi Rangkong Gading.
Elsia Yuanti
Communication Manager
Dengan bekal pendidikan dari Swiss Hotel Management School, Elsia Yuanti atau akrab disapa Ajeng mengawali karirnya lebih dulu di bidang manajemen perhotelan dan pariwisata sejak tahun 2006.
Pengalaman dalam berkarir dan ketertarikannya dengan Ilmu Komunikasi tidak lantas membuat Ajeng berhenti mengikuti minatnya hingga meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Terbuka.
Keterlibatannya dengan digital media dimulai saat ia bergabung dengan LACI Media di tahun 2013 sebagai Account Executive. Namun dengan perkembangan Digital Marketing kemudian memberinya pengalaman bekerja di Digital Creative Agency lebih dari 3 tahun. Pada tahun 2014, Ajeng memutuskan bergabung dengan Gositus dan bekerja sebagai Freelancer Social Media Writer & Digital Strategist. Selama bergabung, tidak hanya merancang pengemasan konten digital, ia juga bertanggung jawab membangun tim yang berdedikasi mengerjakan dan mengelola aset maupun kampanye digital untuk sebuah brand atau merk.
Kemudian pada tahun 2015, ia melanjutkan jenjang karir sebagai Account Manager di iDG. Ketertarikannya dengan Digital Marketing juga memberinya pengalaman dalam strategi dan manajemen kampanye digital, strategi kreatif maupun manajemen media sosial.
Elsia Yuanti
Communication Manager
Having acquired education from Swiss Hotel Management School, Elsia Yuanti – nicknamed Ajeng – embarked on her career in hotel and tourism management in 2006.
Passionately interested in communication, her career did not prevent her from continuing her study in Communication Science until she earned a degree from Universitas Terbuka.
Her involvement in digital media started when she joined LACI Media in 2013 as Account Executive. As Digital Marketing was flourishing, she then worked in Digital Creative Agency for more than three years. In 2014 Ajeng decided to join GoSitus as freelance Social Media Writer & Digital Strategist. There, she not only designed digital content but also was responsible for building a dedicated team which worked on and managed assets and digital campaigns for a brand.
In 2015, she further built her career as Account Manager with iDG. Her interest in Digital Marketing has given her invaluable experience in developing and managing digital campaigns, creative strategies, and social media.
Irfan Yulianto
Marine Science Specialist
Dilahirkan pada 4 Agustus 1978, Irfan mengawali karirnya pada tahun 1998 sebagai asisten dosen untuk scientific diving di Biologi Laut dan Oseanografi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dia lulus dari Institut Pertanian Bogor di tahun 2001 dengan bidang studi Ilmu Kelautan dan Teknologi, kemudian menyelesaikan studi magisternya pada studi Pemodelan Perikanan Tangkap di tempat yang sama pada tahun 2008 s/d 2010. Tahun 2015 dia menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Aquaculture and Sea Ranching di University of Rostock, Jerman. Irfan adalah satu dari enam pembuat film dokumenter yang mendirikan Indonesia Nature Film Society (INFIS) di Bogor, Jawa Barat.
Irfan telah banyak bekerja dalam proyek konservasi sejak tahun 2001 di Coastal Resources Management Project-USAID, The Nature Conservancy, Perkumpulan Telapak, Community Based MPA di Pulau Sebesi, dan Wildlife Conservation Society. Saat ini dia bekerja di Wildlife Conservation Society sebagai Manajer Perikanan, dan juga bekerja di Departemen Perikanan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor.
Irfan Yulianto
Marine Science Specialist
Born on 4 August 1978, Irfan started his career in 1988 as assistant professor for Scientific Diving in Marine Biology and Oceanography of Bogor Agricultural Institute.
Upon graduating from the Department of Marine Science and Technology of Bogor Agricultural Institute in 2001, he did a Master in Capture Fisheries Modeling at the same Institute from 2008-2010. In 2005 he completed his doctoral study in Aquaculture and Sea Ranching at Rostock University, Germany. Irfan is one of the six documentary filmmakers that founded Indonesia Nature Film Society (INFIS) in Bogor, West Java.
Irfan has been doing a year’s service for conservation project since 2001 at Coastal Resources Management Project-USAID, The Nature Conservancy, Perkumpulan Telapak, Community Based MPA in Sebesi Island, and Wildlife Conservation Society. Currently he holds the position of Fisheries Manager at Wildlife Conservation Society-Indonesia Program, in addition to serving in the Department of Marine Fisheries, the Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University.
Wahyu Mulyono
Producer, Writer & Underwater Filmmaker
Lahir 18 May di Jogjakarta, Wahyu Mul memulai karirnya pada tahun 1999 sebagai jurnalis Majalah Tempo. Dia lulus dari Institut Pertanian Bogor jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan di awal tahun 2000. Dia memulai karirnya sebagai pembuat film dokumenter di TV7, sebuah stasiun televisi nasional di Indonesia sebagai produser program TV bertajuk alam liar dan genre dokumenter lainnya.
Pada tahun 2005, dia menerima penghargaan untuk kategori film dokumenter dalam Festival Film Indonesia. Kemudian dia berpindah ke Astro di tahun 2006 sebagai Produser Eksekutif. Tahun 2010, dia membangun Departemen Dokumenter di Kompas TV dan menjadi Kepala Departemen di sana. Kemudian di tahun 2013, dia bersama lima pembuat film dokumenter lainnya mendirikan Indonesia Nature Film Society (INFIS) di Bogor, Jawa Barat. Selain pengalamannya di industri televisi nasional, dia juga pernah membuat film dokumenter untuk NHK dan TBS, keduanya merupakan televisi nasional Jepang.
Sebagai seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter, dia telah menerima beberapa penghargaan untuk pekerjaannya. Pada tahun 2005, karyanya berhasil menang dan masuk nominasi dalam Festival Film Indonesia, kategori Film Dokumenter. Tahun 2009, filmnya masuk nominasi dalam Cancer Film Festival di Texas, Amerika Serikat. Kemudian di tahun 2012, karyanya memenangkan dua penghargaan dari Anugrah Adiwarta untuk film dokumenter kemanusiaan dan investigatif, serta satu penghargaan untuk Wildlife Documentary Film dalam Asian Television Award, sebuah festival televisi tertinggi di Asia. Sekarang dia aktif bersinergi bersama INFIS memimpin produksi film untuk mempromosikan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan Indonesia, keadilan bagi masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Nanang Sujana
Director, Lighting Cameraman & Editor
Nanang Sujana, lahir pada 14 Oktober 1980. Dia datang dari masyarakat Rejang di Bengkulu, Sumatera, Nanang memulai karirnya dalam membuat dokumenter sejak tahun 2003, setelah menyelesaikan pendidikannya di Departemen Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bersama dengan salah satu LSM lingkungan di Bogor, dia dan enam pembuat film dokumenter lainnya mendirikan Gekko Studio di tahun 2006 dan Indonesia Nature Film Society (INFIS) pada tahun 2013.
Saat ini ia aktif terlibat dengan INFIS sebagai pembuat film utama untuk memproduksi film yang mempromosikan perubahan, pentingnya penyelamatan lingkungan Indonesia serta mempromosikan keadilan sosial bagi masyarakat adat, petani dan nelayan.
Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas akan lingkungan dan budaya Indonesia, Nanang menjadi orang Indonesia pertama yang memenangkan penghargaan internasional untuk karya film bertajuk wildlife dan lingkungan. Di tahun 2008, berkolabirasi dengan Handcrafted Films, dia memenangkan the Best Cultural Message dalam 31st International Wildlife Film Festival di Montana. Tahun 2009, dia menerima the Best Asia-Oceania Newcomer Award dalam 9th Japan Wildlife Festival, festival film bertajuk alam liar terbesar di Asia. Pada tahun 2011, Perserikatan Bangsa-bangsa memilih filmnya untuk diputar di seluru dunia dalam rangka merayakan Hari Masyarakat Adat Internasional.
Ridzki Rinanto Sigit
Mass Communication Specialist
Pada 15 tahun terakhir, Ridzki mendedikasikan dirinya untuk menjadi aktivis lingkungan yang mengampanyekan manajemen sumber daya alam Indonesia yang baik. Dia lulus dari Teknologi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor di tahun 1995 dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bidang studi Manajemen di tahun 1997. Pada tahun 2015 dia telah menyelesaikan doktoralnya di Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta.
Berbagai kegiatan dan pekerjaan yang dia lakukannya telah menoreh pengalamannya di dunia dokumenter. Ada lebih dari 20 film dokumenter diproduksi dan disutradarai saat dia menjadi pendiri sekaligus Direktur Gekko Studio dari tahun 2006 hingga 2009. Filmnya yang berjudul “Deadly Sprays in Archipelago” yang disutradarai Nanang Sujana dan Hugesta Prattama telah memperoleh penghargaan dari Filmmaker for Conservation untuk kategori naskah film terbaik, diikui filmnya yang berjudul “5×5” yang juga mendapatkan penghargaan dari 31st Montana International Wildlife Film Festival tahun 2008 untuk kategori the Best Culture Message Film Production. Pada tahun 2008, filmnya yang berjudul “Hutanku Menangis” menjadi film resmi untuk Hari Bumi di Perancis yang membuat film tersebut ditonton oleh 12,500 orang dari 31 negara dalam waktu satu hari. Film ini juga meraih penghargaan dari Japan Wildlife Film Festival sebagai film pendek terbaik di tahun 2009.
Ridzki sekarang menjabat sebagai Direktur Mongabay-Indonesia, sebuah portal berita dan informasi lingkungan yang bertujuan untuk diseminasi informasi lingkungan kepada publik. Dia tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis tentang dampak pembalakan liar di Indonesia, termasuk bagaimana prospek manajemen sumber daya hasil hutan non-kayu dan hubungannyya dengan masyarakat lokal, sebagaimana halnya dengan yang terjadi antara kawasan pesisir dan hubungannya terhadap kehidupan nelayan. Melalui penelitiannya dan tulisannya, dia bertujuan untuk memberikan penyadartahuan kepada masyarakat Indonesia akan berbagai isu lingkungan, seperti kehutanan, pertambangan, kelapa sawit, isu kelautan, pembangunan berkelanjutan, dan pemanasan global.
Nanang Sujana
Director, Lighting Cameraman & Editor
Nanang Sujana, born in October 14th 1980. He belongs to Rejang people in Bengkulu, Sumatra. He started his filmmaking carrier back in 2003 after finishing his Marine Biology degree in Bogor Agricultural University. With an environmental NGO’s based in Bogor, West Java, he and six other filmmakers established the Gekko Studio in 2006 and Indonesia Nature Film Society (INFIS) in 2013.
Currently he actively engages with INFIS as principal filmmaker for producing films for promoting change, the importance of saving Indonesian environment as well as promoting social justice for indigenous peoples, peasants and fisherfolk.
With a vast experience and knowledge of Indonesian nature and culture, Nanang became the first Indonesian to win the International Award in Nature and Wildlife Filmmaking. In 2008, in collaboration with Handcrafted Films, he won the Best Cultural Message in the 31st International Wildlife Film Festival in Montana. In 2009, he received the Best Asia-Oceania Newcomer Award in the 9th Japan Wildlife Film Festival, the biggest wildlife film festival in Asia. In 2011, United Nation selected his film and screened all over the world in celebration of Indigenous Peoples days.
Ridzki Rinanto Sigit
Mass Communication Specialist
In the past 15 years, Ridzki has dedicated himself to be environmental activists in promoting Indonesian natural resource management. Graduated from Forest Technology Bogor Agricultural University in 1995 and continue to accomplish his Magister of Management in 1997. In 2015 he has been completed his PhD at Communication Science, Sahid University, Jakarta.
Various activities and career path has run his sprawling in documentary film experiences with more than 20 documentary films produced and directed when he become founder and director of Gekko Studio between 2006 to 2009. His “Deadly Sprays in Archipelago” film that was directed by Nanang Sujana and Hugesta Prattama has gain an award from Filmmaker for Conservation for the best film scripted, following by his films titled “5×5” that also awarded by 31st Montana International Wild Life Film Festival in 2008 for best culture message film production. In 2008, his film titled “My Forest Tears” become the officially film for Earth Day for French web based company Daily Motion, hit by more 12,500 peoples from 31 countries by one and half day and awarded by Japan Wild Life Film Festival for the best short film on 2009.
Ridzki currently positioned as director of Mongabay-Indonesia, an environmental news information portal that aims to disseminate environmental information to the public at large. He interested in researching and participated in the writing of the impact of illegal logging in Indonesia, including the prospects of non-timber forest product management in conjunction with the local community as well as researching on coastal areas and connection with life of fishermen. Through his research and media production, he aims to reaching out the Indonesian public audience in order to make them become aware and knowledgeable with various issues of environment, including forestry, mining, oil palm, marine issue, sustainable development, and global warming.
Wahyu Mulyono
Producer, Writer & Underwater Filmmaker
Born in May 18th in Jogjakarta, Wahyu Mul started his carrier in 1999 as a journalist at Tempo Magazine. He graduated from Bogor Agricultural University in early 2000, Majoring in Aquatic Resources Management. He started his carrier as Documentary Filmmaker at TV 7, a national Television in Indonesia as a Producer of Wildlife TV Program and another genre of Documentary.
In 2005, he received an Awards For Documentary Films in Indonesian Film Festival. He moved to Astro in 2006 as an Executive Producer. In 2010, he build the Documentary Department in Kompas TV as Head of the Department, and in 2013, he and five other filmmakers established Indonesian Nature Film Society (INFIS) in Bogor, West Java. Besides his experienced in National Television, he also produced documentary film for NHK and TBS, both are National Television in Japan.
As a Journalist and documentary filmmaker, he has received some awards for his works. In 2005, he won and nominated Indonesian Film Festival for Documentary Film. In 2009, his film nominated in Cancer Film Festival in Texas, USA. In 2012, he won two awards from Anugrah Adiwarta for humanitarian and investigative documentary film and one awards for Wildlife Documentary Film in Asian Television Awards, the highest Asian Television Festival in Asia. Currently he actively engages with INFIS as principal filmmaker for producing films for promoting change, the importance of saving Indonesian environment as well as promoting social justice for indigenous peoples, peasants and fisherfolk.
Een Irawan Putra
Executive Director of Rekam Nusantara & Indonesia Nature Film Society
Een has vast experiences in many documentary film-making that concerns on issues of forestry, indigenous peoples, and marine biodiversity which involving ndigenous peoples organizations, NGO’s, and government at national and international level as well as documented conflicts over forest destruction in several remote places in Indonesia.
His main documentary interest covering about the expulsion of indigenous peoples from their forest dwellings, implementation of controversial government policies, conversion of forest into large-scale plantations, wildlife poaching and other activities affecting the environment and natural resources in Indonesia. He also films local wisdom on forest management and protection and indigenous knowledge on forest product use.
He also currently works as Coordinator for Ciliwung River Care Community (KPC Bogor), and has become territorial Corporate Chairman of Western Java Area of Telapak Association (www.telapak.org) 2012-2016. His interest and passion for environmental issues, forestry and indigenous peoples in Indonesia began when he studied at the Faculty of Forestry in Bogor Agricultural University and joined the Student Society of Nature Lovers of Bogor Agricultural Institute (LAWALATA IPB). He formerly worked as Forest Researcher in Greenpeace South East Asia Indonesia Office, Producer, Cameraman, and Editor at Gekko Studio, Vice Director PT. Poros Nusantara Media, and Vice President Association of Indonesia Peoples’ Media and Television ASTEKI in 2012.
He has produce films about Non Timber Forest Product (NFP’s) that took shoots in South India on 2006 and received an award from “NUFF Global Film Festival (Climate Change) – Norwegian” for his work as cameraman in “Sui Utik, Wisdom of Heart Borneo” film on 2007. He also gained “Best Asia-Oceania Newcomer Award” from the “9th Japan Wildlife Film Festival”, for his Film “My Forest Tears”. One of his films “Sui Utik, Wisdom of Heart Borneo” (2007) has been screened at Freedom Film Festival in Serawak, Malaysia on 2008.
Een Irawan Putra
Executive Director of Rekam Nusantara & Indonesia Nature Film Society
Een memiliki banyak pengalaman di dunia pembuatan dokumenter yang fokus pada isu kehutanan, masyarakat adat, kelautan, dan keanekaragaman hayati yang melibatkan organisasi masyarakat adat, LSM, dan pemerintahan di tingkat nasional maupun internasional.
Isu yang diangkat pada karya-karya dokumenternya meliputi pengusiran masyarakat adat dari hutan tempat tinggalnya, implementasi kebijakan pemerintah yang kontroversial, konversi hutan, perburuan satwa, dan kegiatan lainnya yang memberikan dampak pada lingkungan dan sumber daya alam yang ada di Indonesia. Een juga membuat film tentang kearifan lokal tentang manajemen dan perlindungan hutan, serta pemanfaatan sumber daya hutan.
Dia sekarang bekerja sebagai Kordinator Komunitas Peduli Ciliwung Bogor dan menjadi Ketua Badan Teritori untuk kawasan Jawa Barat Asosiasi Telapak (www.telapak.org) untuk tahun 2012-2016. Ketertarikan dan minatnya pada isu kehutanan dan masyarakat adat dimulai ketika dia menempuh pendidikannya di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan bergabung dengan kelompok pecinta alam, LAWALATA IPB. Dia dulu bekerja sebagai Forest Researcher Greenpeace Asia Tenggara. Selain itu dia juga pernah menjadi produser, juru kamera, dan editor di Gekko Studio, Wakil Direktur PT. Poros Nusantara Media, dan Wakil Presiden ASTEKI di tahun 2012.
Een telah memproduksi film tentang hasil hutan non-kayu (Non-timber Forest Product/NFP) yang dibuat di India Selatan pada tahun 2006. Dia berhasil meraih penghargaan dari NUFF Global Film Festival (Climate Change) di Norwegia dari jeripayahnya sebagai juru kamera di film “Sui Utik, Wisdom of Heart Borneo” di tahun 2007. Selain itu dia juga memperoleh Best Asia-Oceania Newcomer Award dalam 9th Japan Wildlife Film Festival untuk film “Hutanku Menangis”. Salah satu dari filmnya, “Sui Utik, Wisdom of Heart Borneo” juga telah diputarkan pada Freedom Film Festival di Sarawak, Malaysia pada tahun 2008.