Duduk di gubuknya dan melihat masyarakatnya memanen padi, R. Kondo Lada’ mengatakan bahwa daerah itu adalah lumbung padi Ambalong. Beberapa dekade lalu, sebelum Sae dibuka untuk sawah, masyarakat harus membeli atau meminta beras dari keluarganya di Seko Padang. “Saat itu sawah kami tidak cukup untuk menghasilkan beras bagi seluruh masyarakat. Sejak kami membuka kembali lahan – Sae dan sekitarnya – yang kami warisi dari nenek moyang, kami tidak lagi harus pergi ke Seko untuk membeli atau meminta beras,” lanjutnya. Pada masa pemberontakan DI/TII (yang bermaksud mengubah republik menjadi negara Islam), perang antara pasukan Kahar Muzakar dan Tentara Indonesia pecah di Sae – wilayah adat Ambalong. Semua sawah ditinggalkan karena masyarakat meninggalkan daerah itu. Seperti yang bisa dilihat, daerah itu adalah kehidupan orang Ambalong; mereka tidak akan pernah membiarkan daerah itu terendam untuk proyek pembangkit listrik tenaga air. “Tidak ada kompromi ketika datang ke tanah ini,” tegasnya.
Kondo Lada’ menyayangkan kegagalan pemerintah untuk mengakui apa yang sebenarnya dibutuhkan Seko. Seko telah mencoba membantu pemerintah menghemat uang yang dialokasikan untuk beras murah untuk Seko tetapi pemerintah sendiri yang akan memiskinkan dan merugikan Seko melalui rencana untuk menghapus lumbung padi mereka. “Dengan hilangnya lumbung padi kami, masyarakat saya pasti akan miskin. Mereka mungkin akan mati kelaparan jika pemerintah bersikeras menenggelamkan lumbung padi kami,” katanya. Ia menambahkan, sawahnya sendiri bisa menghasilkan beras hingga 100 karung per tahun. Dia selalu bersedia membantu orang lain yang membutuhkan beras. Alex, salah satu warga Ambalong yang saat itu sedang memanen padi, mengatakan selain padi, ia juga menanam kopi dan kakao. “Sawah saya tidak besar, hanya menghasilkan 30 karung per tahun tetapi saya dapat memanen satu ton kopi dan kakao setiap tahun,” katanya. Setuju dengan Tobaro R. Kondo Lada’. Alex mengaku tidak memiliki lahan lain untuk digarap sebagai mata pencaharian selain tanah warisan nenek moyangnya.
Dengan izin dari Pemkab Luwu Utara, PT Seko Power Prima akan membangun pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 480 MW di Seko Tengah. Sungai Betue yang mengalir melalui tanah adat Ambalong – Sae, akan disumbat untuk mengalirkan air ke Ratte tempat turbin berada, melalui tiga terowongan sepanjang 18 km dan diameter 8 meter. Terowongan juga akan membelah bukit, rumpun, tebing, lahan pertanian, dan dusun. Ini adalah rencana pemerintah dan perusahaan yang telah mengganggu Seko dan mengganggu kehidupan damai mereka yang telah berlangsung lama.