Pagi itu Kamis (13/10/2022). Beberapa siswa SMX School of Makers duduk bersila di lantai dua kantor Yayasan Rekam Nusantara yang berada di kawasan Sempur, Bogor. Mereka tampak asyik menonton beberapa film dokumenter yang diproduksi oleh tim Rekam. Durasinya tidak terlalu panjang, tetapi cukup untuk membawakan pesan penting terkait berbagai isu lingkungan yang ada di beberapa wilayah Indonesia.
Selepas film diputar, agenda diskusi terjalin hangat. Beberapa siswa yang hadir, memperkenalkan dirinya masing-masing. Lalu Tanya jawab mengenai proses produksi film, hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan sebelum memproduksi film dan berbagai hal lainnya. Suasana diskusi sangat cair disertai gelak tawa, namun tetap serius.
Guru SMX School of Makers Lutfi mengatakan, lembaga pendidikan tempat ia mengabdi merupakan sebuah sekolah inkubasi bisnis dan movement. Setiap siswa yang bersekolah di sana diarahkan sesuai dengan minatnya masing-masing. Mulai dari peminatan videografi, kuliner, desain dan sebagainya.
“Kunjungan kami ke Yayasan Rekam ini untuk belajar. Sebab dalam beberapa waktu ke depan, para siswa akan mengikuti agenda eksplorasi urban survival selama dua pecan. Tujuannya untuk bisa menangkap potensi lokal. Input yang nantinya diharapkan dari kegiatan itu adalah sebuah karya jurnalistik,” kata Lutfi.
Lebih lanjut Lutfi bilang, Yayasan Rekam Nusantara menjadi salah satu tujuan siswa didiknya untuk belajar. Sebab menurutnya, lembaga ini sudah banyak mengangkat isu dan potensi lokal di berbagai daerah Indonesia dan mendokumentasikannya menjadi sebuah karya.
“Sebelum agenda eksplorasi urban survival dilaksanakan, kami ingin belajar banyak dulu dari Rekam,” katanya.
Manajer komunikasi Yayasan Rekam Nusantara Elsia S Yuanti mengaku senang dengan adanya kunjungan beberapa siswa dari sekolah SMX. Beberapa waktu lalu, Yayasan Rekam Nusantara mengadakan pemutaran film documenter bertajuk “Pantura Bercerita” di sekolah tersebut. Kunjungan balasan dari para siswa itu merupakan hal yang sangat menggembirakan.
Dalam sesi diskusi tersebut, perempuan yang akrab disapa Ajeng itu menjelaskan mengenai sejarah berdirinya Yayasan Rekam Nusantara dan aktivitas yang dilakukannya. Serta mengenalkan beberapa unit yang berada di bawahnya. Seperti INFIS (Indonesia Nature Film Society), Rangkong Indonesia, FRCI (Fisheries Resource Center of Indonesia) dan NRCU (Natural Resources Crime Unit).
“Dalam memotret isu lingkungan di berbagai daerah dalam bentuk film atau pun tulisan, kita perlu bekal informasi yang cukup. Sebelum turun ke lapangan, kami biasanya melakukan riset yang mendalam. Juga melakukan verifikasi informasi yang didapat. Menggali isu lingkungan dari beberapa pihak dan sudut pandang,” katanya.
Ajeng menekankan, sebelum terjun ke lapangan tim Rekam Nusantara harus dipastikan sudah memahami isu yang akan diliput disertai dengan riset data yang mendalam. Ia juga menceritakan berbagai pengalaman yang dilakukan oleh beberapa rekannya dalam memotret berbagai isu lingkungan di berbagai wilayah.
“Rekan kami saat mengambil video timbunan sampah di TPA Galuga, itu baunya minta ampun. Bahkan sampai kembali ke kantor pun, baunya tetap menyengat. Tapi hasil videonya sangat bagus dan bisa menggugah kesadaran banyak pihak terkait masalah sampah,” katanya.
Beberapa staf Yayasan Rekam Nusantara lainnya juga saling berbagai cerita. Mengenai suka duka yang dialami dalam menjalankan profesinya. Mulai dari berhari-hari harus berada di pedalaman hutan, jarak tempuh ke lokasi yang jauh dan jalanan terjal, atau mengamati eksotisnya burung rangkong dan lain-lain.
“Kami sangat terbuka untuk berkolaborasi dan belajar bersama mengenai isu lingkungan hidup dan membantu semua pihak. Ini penting untuk bersinergi dan terus mengingatkan para pemangku kepentingan. Kami akan terus konsisten,” kata Direktur Yayasan Rekam Nusantara Een Irawan Purtra.
Een bilang, kerjasama antara Yayasan Rekam Nusantara dengan lembaga pendidikan sudah dilakukan sejak lama. Sebelumnya pihaknya juga menjalin kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Dipenogoro (Undip), Universitas Tanjung Pura, Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Indonesia (UI), dan lainnya.
“Kerjasama dengan lembaga pendidikan penting untuk membangun argumentasi dan inovasi. Sebab selama ini birokrat terlalu nyaman dengan pola kerja lama,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan berbagai lingkungan hidup yang belum juga terselesaikan, kolaborasi dengan berbagai pihak penting untuk terus dilakukan. Een mencontohkan kolaborasi apik dalam mengatasi permasalahan yang ada di bantaran sungai Ciliwung. Pemerintah Kota Bogor bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menjawab permasalahan tersebut. Diantaranya Yayasan Rekam Nusantara, Komunitas Peduli Ciliwung hingga melahirkan Satgas Naturalisasi Sungai Ciliwung. Pun dalam mengatasi permasalahan sampah plastik. Pemerintah Kota Bogor berkolaborasi dengan Plastik Smart Cities (PSC), sebuah gerakan global yang digawangi oleh WWF.
“Hal ini penting agar solusi yang ada tidak hanya jadi wacana. Tetapi harus ada perubahan serius. Bisa turun ke lapangan bersama masyarakat. Untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan yang ada, tidak cukup hanya membangun kesadaran. Harus ada gerakan nyata, membangun berbagai fasilitas untuk membenahi masalah yang ada,” katanya.
Een berpesan kepada para siswa yang hadir dalam diskusi tersebut, untuk lebih peka memperhatikan lingkungan sekitarnya. Untuk selanjutnya membuat gerakan perubahan nyata dari mulai dari lingkungan terdekat terlebih dahulu.
“Lihat lingkungan sekitar. Bisa mulai dari rumah dulu. Mulai dari hal-hal kecil seperti memilah sampah. Itu hal kecil yang dampaknya sangat signifikan. Mengajak orang lain memang tidak mudah, bahkan kepada orang terdekat pun kadang susah. Kita bisa mulai dari diri sendiri untuk membuat perubahan nyata. Mulai dari hal-hal kecil yang akan berdampak besar,” tandasnya.***