#SaveSeko Bab Empat: Lembaga Adat Baru Ditolak

Share :

Pada awal tahun 1999 seorang pemuda dari Seko Padang bernama Mahir Takaka dan beberapa teman dari Yayasan Bumi Sawergading (YBS Palopo) berusaha untuk mendukung masyarakat adat Seko. Mereka membahas bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak atas wilayah adat, memberikan perlindungan hukum dan agar hak Seko diakui oleh pemerintah. Hasil diskusi adalah pemetaan partisipatif wilayah adat Seko dan inisiatif untuk membentuk Dewan Pimpinan Adat Seko Salombengan (Dewan Pemangku Adat Salombengan Seko/DEPASS). Perwakilan dari sembilan wilayah adat Seko mengadakan pertemuan adat untuk membahas inisiatif dan akhirnya setuju untuk membuatnya. Pendeta Yan Sa'bi ditugaskan dan disetujui sebagai kepala DEPASS. “Pembuatan DEPASS difasilitasi oleh YBS Palopo; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat itu belum memiliki program untuk Seko,” kata Mahir, yang saat ini duduk di Dewan Nasional AMAN Wilayah Sulawesi.

DEPASS kemudian berusaha keras untuk mengembangkan peraturan pemerintah daerah – dan keputusan bupati – tentang pengakuan masyarakat adat Seko. Beberapa pertemuan diadakan di Seko untuk menyusun peraturan dan keputusan tersebut. Setelah selesai, draft tersebut diserahkan kepada pemerintah kabupaten untuk disetujui dan disahkan. Pada tahun 2004, Perda No. 12 Tahun 2004 tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara diterbitkan oleh Bupati H.M. Luthfi A. Mutty yang juga menandatangani SK Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko.

Empat tahun setelah dikeluarkannya Peraturan dan Keputusan tersebut, pada tahun 2008 Pendeta Yan Sa’bi meninggal dunia, meninggalkan jabatan (yaitu kepala DEPASS) yang kosong. Setahun telah berlalu tetapi tidak ada yang berusaha membentuk kepengurusan baru. Barnabas Tandi Paewa dari Seko Lemo bersama beberapa temannya memanfaatkan situasi untuk membubarkan DEPASS dan membentuk Dewan Adat Seko (Dewan Adat Seko/DAS). Sejumlah tokoh adat Seko, termasuk Tobara Ambalong R. Kondo Lada’, hadir dalam pertemuan yang membahas awal mulanya. Di sisi lain, tokoh adat dari Seko Tengah tidak menyetujui pendirian baru karena tidak sesuai dengan filosofi tradisional mereka – Sallombengan, yang melambangkan persatuan dan kebersamaan serta ikatan sosial budaya yang kuat di antara masyarakat adat di Seko. Lagi pula, posisi DAS tidak pernah bisa lebih tinggi dari Tobaro. “Dia (Barnabas) mengatakan dia lebih tinggi dari Tobaro, yang tidak kami setujui. Tidak ada posisi yang lebih tinggi dari Tobaro, atau Tomokaka. Mereka sama kedudukannya. Tobara, Tomokaka dan Tokey semuanya memimpin komunitasnya masing-masing di wilayah tertentu. Misalnya saya, Tobara, memimpin Katobaraan dan kewenangan saya terbentang dari Ambalong sampai Palandoang, Lambiri,” kata Kondo Lada’. Dia juga mencatat bahwa setiap dusun memiliki Tua Kampung sendiri. Ketika mereka tidak bisa menyelesaikan masalah di dusunnya masing-masing, mereka akan mengundang Tobaro untuk membantu mengatasinya. “Makanya kami tidak terima DAS. Padahal dia (Barnabas) tidak berhak membubarkan DEPASS,” tegasnya.

Menurut R. Kondo Lada’, ada motif tersembunyi di balik pembentukan DAS, terlihat dari cara para pemrakarsa mengadakan pertemuan untuk membahas awal dan penetapan struktur kepengurusannya. Anggota manajemen yang dicalonkan tampaknya telah ditentukan sebelumnya. Para pendukung sudah mengatur strukturnya. “Mereka segera mengumumkan strukturnya: Barnabas Tandi Paewa, SH sebagai ketua; Nasir sebagai sekretaris. Segera setelah itu, ada perselisihan di antara mereka yang hadir, ”katanya. Dia melanjutkan dengan memberi tahu kami bahwa keputusan itu diambil secara sepihak oleh para pendukung. Suara asli Seko dan mayoritas masyarakat di dusun yang sebenarnya tidak menerimanya. Dari sembilan Katobaraan (lembaga adat) di Seko, hanya dua yang menerima pendirian: Tomokaka Beropa’ dan Tomokaka Kariango; tujuh lainnya – Tobara Lodang, Tobara Hono’, Tobara Turong, Tokey Singkalong, Tobara Ambalong, Tobara Pohoneang dan Tobara Hoyane – menolak mengakui lembaga tersebut. “Tiga Katobaraan di Central Seko, tempat PLTA akan didirikan, yaitu Hoyane, Pokapaang dan Ambalong, semuanya menolak perusahaan. DAS mengatakan ketiganya menerima perusahaan; Namun, itu hanya klaim,” katanya.

PT Seko Power Prima, diwakili Manajer Operasional Ginandjar Kurli, pada 20 April 2017 dalam keterangannya di depan pengadilan dalam kasus konflik dengan Seko, menyatakan bahwa mereka beroperasi di wilayah adat Seko atas persetujuan ketua DAS – Barnabas Tandi Paewa. Barnabas, yang merupakan pensiunan polisi Masamba, saat ini bekerja untuk perusahaan tersebut. “Oleh karena itu, posisi dan peran DAS di Seko membuat kita pusing,” R. Kondo Lada’ mengakhiri ceramahnya tentang sejarah DAS.

 

Musa Derita, salah satu tokoh adat di wilayah adat Pokapaan, mengatakan kepada kami bahwa dia dan masyarakatnya tidak tahu apa-apa tentang apa itu DAS dan apa fungsinya. Dia bilang dia baru mendengar nama itu. Mereka tahu lebih banyak tentang DAS ketika konflik muncul dengan perusahaan. “Saya mendapat surat tentang DAS dan pengelolaannya, tetapi kami tidak pernah mengakuinya,” katanya.

Lebih lanjut ia menambahkan, faktanya pada tahun 2012 PT Seko Power Prima dikenai denda adat satu ekor kerbau (senilai Rp10 juta) karena masuk dan beroperasi di wilayah adat Pokapaan tanpa izin terlebih dahulu dari lembaga adat. Ginandjar yang mewakili perusahaan mengatakan, pihaknya akan menghentikan semua kegiatan di sana, namun kenyataannya kegiatan tersebut berlanjut hingga survei geologi (pengeboran). “Perusahaan tidak menghormati hak-hak Pokapaan adat dan tidak mengindahkan sanksi adat; sebagai hasilnya, ia bertemu dengan oposisi yang luas dan kuat, ”katanya.

Menurut Musa, penangkapan empat belas anggota Seko murni terkait dengan kepentingan politik. Keempat belas, bersama ribuan anggota Seko lainnya, sejak awal menolak operasi perusahaan. Jika mereka tidak ditangkap, oposisi akan tetap kuat.

 

Meski ada sanksi adat, perusahaan tetap melanjutkan pengeboran, mengambil sampel tanah dan batuan untuk dianalisis. Para pengunjuk rasa mengambil sampel dan membuangnya agar tidak dibawa keluar wilayah adat Seko. Dia dan yang lainnya tidak pernah melakukan kekerasan atau serangan fisik terhadap pekerja perusahaan. “Saya tahu persis apa yang dilakukan Amisandi. Dia tidak memukul atau menggunakan parang untuk mengancam para pekerja. Bahkan, Amisandi selalu mengingatkan rekan-rekannya untuk tidak melakukan kekerasan. Saya ketua adat di sini, saya tahu persis apa yang terjadi,” katanya.

Saat itu, Musa Derita baru saja mengunjungi beberapa dusun untuk berbincang dengan masyarakatnya. Ia bermaksud menyatukan kelompok pro dan kontra terkait operasional perusahaan. Dia menceritakan apa yang dia pelajari tentang konflik dan tentang pembangkit listrik tenaga air Bakaru di Kabupaten Enrekang. “Saya sudah berbicara dengan komunitas Longah dan Hoyane; tidak ada yang akan menyerahkan tanah mereka untuk proyek tersebut. Mereka lebih suka dikubur di tanah mereka daripada menyerahkannya kepada perusahaan, ”katanya.

 

Dia mengungkapkan kekecewaannya atas kegagalan pemerintah Luwu Utara untuk melihat apa yang sebenarnya diinginkan Seko. “Kinerja pemerintah kami sangat mengecewakan kami, masyarakat adat Seko. Kami merasa terintimidasi karena kami sangat menentang perusahaan. Kami terpaksa menerimanya. Sejujurnya, perusahaan itu sebenarnya mundur dari investasinya di sini tetapi datang lagi, didorong oleh pemerintah kabupaten dan polisi, ”katanya. Ia juga mengatakan, sebagai pemuka adat seko, ia tidak akan pernah membiarkan seko terpecah. Dia dan para pemimpin adat lainnya akan melakukan yang terbaik untuk menyatukan mereka kembali, meskipun beberapa telah masuk penjara. “Saya akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan wilayah adat dan menyatukan kembali masyarakat,” dia mengakhiri ceritanya.

Blog Lainnya