Tangan Daman Setiawan begitu cekatan mengambil tumpukan sampah plastik yang berada di bengkel perakitan mesin pendaur ulang plastik di kawasan Citereup Kabupaten Bogor. Lalu dimasukan sampah plastik itu ke dalam mesin pencacah. Deru bunyi mesin pencacah terdengar nyaring, memproses tumpukan-tumpukan plastik itu menjadi ukuran yang kecil.
Setelah itu, sampah plastik yang tercacah menjadi ukuran kecil itu, dimasukan ke dalam mesin pelumer. Dengan suhu tinggi, mesin itu mengubah serpihan-serpihan plastik menjadi adonan seperti tanah liat. Daman lantas memasukan adonan itu ke dalam mesin press. Tak berselang lama, sebuah eco paving terbentuk dan siap untuk digunakan.
Daman adalah pendiri Sumpah Sampah. Ia merupakan sebuah perusahaan yang fokus pada upaya daur ulang sampah plastik. Selain Daman, Sumpah Sampah dibidani oleh dua rekan lainnya. Yakni Aziz dan Angga. Ia dibentuk pada akhir tahun 2018.
“Waktu itu kami membicarakan masalah sampah. Kita tahu pengelolaan sampah di Indonesia sudah sebegitu amburadul. Sampah-sampah yang ada tercampur, kotor dan menggunung di TPA,” kata Daman beberapa waktu yang lalu.
Jenis sampah yang menjadi fokus perhatian Sumpah Sampah adalah kresek dan multi layer. Selama ini jenis sampah tersebut sukar didaur ulang. Dari segi ekonomi, pengepul sampah banyak yang enggan untuk mengumpulkannya. Sebab harganya pun terbilang sangat murah.
“Selama ini jenis sampah tersebut banyak yang dibakar, berserakan begitu saja atau bermuara ke lautan. Sehingga menimbulkan banyak permasalahan,” katanya.
Jika dibakar, akan menghasilkan gas dioksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Sampah jenis tersebut yang berserakan begitu saja, membuat kebersihan lingkungan sekitar terganggu. Tak jarang bahkan sampai menyumbat saluran air hingga menyebabkan banjir. Pun yang bermura ke lautan, berubah menjadi mikro plastik, banyak yang dikonsumsi satwa dan berbahaya juga bagi kesehatan. Di sisi lain, sampah plastik sangat sukar untuk terurai di alam. Butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun agar bisa terurai.
Dari obrolan bersama dua rekannya itu, akhirnya sepakat untuk membuat gerakan untuk mengurai benang kusut dalam pengolahan sampah plastik. Mereka bersepakat untuk menciptakan teknologi yang sangat berguna untuk mendaur ulang sampah plastik.
Nama Sumpah Sampah dipilih karena menurut Daman, lebih membumi. Selain itu peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi di masa jelang kemerdekaan Indonesia, menjadi inspirasi baginya. Peristiwa bersejarah itu mampu menyatukan pemuda di seluruh tanah air untuk melawan penjajahan.
“Sekarang ini kan ada masalah bersama yang harus kita hadapi bersama. Yaitu soal sampah plastik. Harapannya dengan menggunakan nama Sumpah Sampah, kita semua bisa bersumpah untuk bersama-sama mendaur ulang sampah plastik. Mengubah sampah plastik yang tadinya masalah menjadi sesuatu yang bermanfaat,” katanya.
Latar belakang pendidikan yang mereka punya sangat membantu dalam mengembangkan teknologi yang diciptakan oleh Sumpah Sampah. Latar belakang pendidikan Daman adalah analis kimia. Sehingga bermanfaat kala melakukan riset terkait dengan polimer plastik. Rekannya yang lain, Aziz, memiliki kemampuan manajemen. Sementara Angga, fokus di urusan manufaktur. Ketiganya saling mengisi satu sama lain dalam mengembangkan Sumpah Sampah.
“Setelah berdiskusi, kita sepakat untuk membuat produk yang cocok dengan sampah Indonesia. Aman bagi lingkungan dan manusia, bermanfaat juga. Hingga kemudian dipilih lah eco paving berbahan dasar plastik,” terangnya.
Sebelumnya, mereka menggunakan teknologi yang sederhana dengan bekal referensi dari tayangan video di YouTube. Sampah plastik yang terkumpul kemudian dibakar, dilelehkan dan dicetak jadi eco paving.
“Kita juga tahu proses itu kurang benar. Tapi untuk memulai satu gerakan baik, apa salahnya kita mulai?”
Untuk bisa mengoperasikan mesin tersebut, lanjut Daman, memerlukan daya listrik yang cukup besar. Yakni antara 8 hingga 10 ribu watt. Daman mengklaim, mesin pengolahan sampah plastik yang dibuatnya mengadaptasi teknologi terbaru dari sehingga aman bagi operator dan lingkungan. Parameter kunci untuk menjamin keamanan mesin tersebut adalah soal temperatur. Mesin buatannya mampu menyesuaikan temperatur dalam melelehkan sampah plastik sehingga tidak akan menghasilkan asap yang mengandung dioksin.
“Dari sisi produk juga dipastikan aman. Untuk produk eco paving yang berbahan baku sampah plastik misalnya. Kita sudah uji lab di intertech dan dinyatakan aman bagi lingkungan,” katanya.
Daman mengatakan, Citereup dipilih sebagai lokasi bengkel pembuatan mesin daur ulang sampah plastik karena di wilayah itu banyak pengrajin logam. Dalam menjalankan aktivitasnya, ia banyak memberdayakan warga sekitar. Saat ini ada sekitar 20 warga yang dipekerjakan olehnya.
“Ada banyak perubahan yang terjadi di sini. Dari sisi ekonomi, pendapatan warga sekitar jadi meningkat. Begitu juga dari sisi lingkungan. Sekarang banyak warga yang datang ke sini untuk menyetor atau menjual sampah plastiknya. Mereka sudah mulai terbiasa memilah sampahnya. Jadi sekarang warga tidak membuang sampah plastik ke sembarang tempat. Sudah mulai timbul kesadaran kalau sampah plastik juga memiliki nilai ekonomi,” katanya.
Mesin yang diciptakannya, lanjut Daman, sesuai dengan karakteristik sampah di Indonesia yang banyak tercampur. Menurutnya, semua jenis plastik kecuali plastik pipa, bisa diolah oleh mesinnya tanpa harus dipilah terlebih dahulu. Terpenting sampah plastik yang terkumpul, harus dipastikan sudah kering sebelum diolah melalui mesinnya.
“Umumnya jika menggunakan mesin lain, plastiknya harus dijadikan pellet dulu. Tapi mesin kami tidak. Sampah plastik yang ada bisa langsung diproses sehingga memangkas rantai proses. Sekaligus juga bisa menghemat budget. Lebih efisien juga,” ujarnya.
Satu set mesinnya mampu mendaur ulang 300 Kg sampah plastik per delapan jam. Jika dijadikan eco paving, maka bisa menghasilkan sekitar 150 buah berbentu persegi ukuran 20x20 cm.
“Saya kira memang dari sisi produktivitas masih belum tinggi. Opsional untuk menambah produktivitas adalah dengan menambah mesin. Kami masih terus melakukan riset pengembangan. Agar produktivitas mesin kami bisa lebih tinggi,” katanya.
Tak hanya dijadikan eco paving. Mesin buatannya juga mampu mengolah sampah plastik menjadi berbagai macam produk furniture. Seperti kursi, meja, lemari bahkan juga gelas.
Meski begitu Daman mengatakan, dalam perjalannya pihaknya juga banyak mengalami kendala. Dengan karakteristik sampah di Indonesia yang tercampur, bau dan kotor, harus benar-benar dipikirkan dengan matang sebelum menciptakan mesinnya. Plastik ada banyak jenis yang titik leleh tiap jenisnya juga berbeda-beda. Sementara untuk memilahnya kan butuh waktu dan SDM.
Setelah melewati serangkaian riset dan percobaan, pihaknya berhasil menemukan titik suhu yang tepat untuk bisa memproses semua jenis plastik. Menurutnya, suhu 230 derajat celcius adalah titik yang tepat. Sehingga plastik yang sudah tercampur pun bisa diproses dengan mesin buatannya. Produk akhirnya juga tidak terdekomposisi.
Saat ini, Sumpah Sampah mulai banyak menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan program Plastic Smart Cities (PSC). Sebuah gerakan global yang diinisiasi oleh WWF untuk mengurangi timbunan sampah plastik di alam. Mesin buatannya sudah tersebar di lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia. Peminatnya dari instansi pemerintah maupun swasta.
“Kami akan terus melakukan riset untuk mengembangkan permesinan yang kami punya.”
Menurutnya, permasalahan sampah plastik perlu penanganan yang serius dibarengi dengan penggunaan teknologi yang mumpuni. Dengan begitu, mendaur ulang sampah plastik bisa menghasilkan pundi keuangan yang menjanjikan.
“Harapan kami Pemerintah dan masyarakat percaya pada kemampuan sumber daya anak-anak muda yang mempunyai kreativitas. Percayakan kepada teknologi dalam negeri untuk mengatasi permasalahan sampah. Kami anak muda Indonesia akan terus berupaya menciptakan teknologi demi menyelesaikan permasalahan sampah,” pungkasnya.***